26 July 2010

Lisan

Ini bukan hanya dituluis tapi seharusnya diucapkan..namanya juga lisan

16 June 2008

ini juga hrs di maintain

kapan maintain ini lagi

14 June 2007

Kenapa Tidak Aktif

Sayang benar bila kreatifitas dibiarkan hilang begitu saja

15 August 2005

Pengarustamaan Gender

Perempuan Bukan Lagi Konco Wingking


Persepsi tentang eksistensi perempuan pada masyarakat Indonesia, masih menempatkan kaum hawa dalam posisi inferior. Fakta yang muncul dimasyarakat, pada kenyataannya masih ditemui keberadaan perempuan yang belum ditempatkan sebagai mitra setara. “Didalam keluarga masih dianggap sebagai konco wingking (pasangan hubungan seks-Red),” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Depdagri Drs. Oentarto Sindung Mawardi, M.Si., dalam suatu kesempatan di Jakarta, (2/9).
Fakta lainnya, misalnya dalam dunia politik, selama 8 (delapan) kali Pemilu dilaksanakan, pada lembaga legislatif sekitar 97% masih diisi oleh laki-laki. Bahkan, ada DPRD yang 100% laki-laki, apalagi di Badan Perwakilan Desa. Didalam kebijakan publik kepentingan perempuan nyaris tidak diperhatikan, kurangnya perlindungan hukum terhadap perempuan, dibidang pendidikan bacaan sekolah masih menomorduakan perempuan. “Dalam kehidupan social kemasyarakatan, sering hanya dikiaskan suwargo nunut neroko katut (masuk surga ikut, masuk neraka terbawa-Red),” papar Dirjen Otda.
Posisi dan kedudukan perempuan didalam masyarakat diharapkan akan semakin kuat dengan dikeluarkannya berbagai regulasi yang mengatur penempatan perempuan sejajar dengan kaum laki-laki. Di Indonesia regulasi mengenai gender ini diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Kemudian untuk mengimplementasikan UU tersebut, maka diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, dan dalam pelaksanakaan operasionalnya maka Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan Nomor 132 Tahun 2003 (Kepmendagri 132) tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Di Daerah.
Berdasarkan kondisi dilapangan, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah masih terdapat kesenjangan gender baik dalam perencanaan, pelaksanaan, penganggaran, pemantauan dan evaluasi, maupun dalam pengambilan keputusan dan kebijakan publik. Kepmendagri 132 ini merupakan penyempurnaan Surat Edaran Mendagri dan Otonomi Daerah Nomor 050/1232/SJ tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender.
Jika dilihat dari peranan perempuan yang tergambar dalam Gender Related Development Index (GDI), maka Indonesia berada dalam urutan ke 90, masih tertinggal dibandingkan dengan Singapura pada urutan ke-28, Malaysia pada urutan ke-52, Thailand pada urutan ke-61, lalu Filiphina pada urutan ke-66 dan bahkan Vietnam pada urutan ke-87. Dilihat dari tingkat pendidikannya, pada tahun 1999, 54 % perempuan hanya memiliki pendidikan SD, atau kurang 19 % berpendidikan SMP dan 27 % berpendidikan SMA atau lebih. Hal ini sekaligus juga menunjukkan bahwa di Indonesia ada tantangan pemberdayaan dan peran perempuan yang serius terhadap pembangunan.
“Kondisi ini searah dengan tuntutan globalisasi dan demokratisasi, dimana perlu disusun strategi kebijakan penanganan yang optimal dan holistic, dengan melibatkan Departemen dan Non Departemen, serta elemen-elemen masyarakat terkait dalam pemberdayaan perempuan di era otonomi daerah,” kata Ketua Penyelenggara Workshop ini, Ir. Hj. Triyuni Soemartono, MM (2/9).
Implementasi Kepmendagri 132 Tahun 2003
Departemen Dalam Negeri (Depdagri) sebagai Pembina umum pemerintahan dalam negeri merasa perlu memfasilitasi daerah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan melalui suatu kebijakan dengan mengintegrasikan PUG ke dalam seluruh proses dan tahapan pembangunan dengan meningkatkan integritas pejabat pemerintah daerah khususnya yang menangani pemberdayaan perempuan terhadap PUG dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan
Mengingat pentingnya implementasi Kepmendagri 132 ini, Depdagri menyelenggarakan Workshop Pengarusutamaan Gender Dalam Rangka Implementasi Otonomi Daerah. Selain itu, acara dimaksud diharapkan dapat menyatukan pemahaman, pemikiran dan persepsi pejabat pemerintah daerah, khususnya yang menangani pemberdayaan perempuan terhadap PUG.
“Kemudian untuk mengoptimalkan pengarusutamaan gender dalam setiap kebijakan dan merespon peluang maupun tantangan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan otonomi daerah di bidang ketentraman dan ketertiban umum, penegakan hukum, kependudukan dan permasalahan sosial lainnya,” papar Ir. Hj. Triyuni Soemartonno, MM, yang sehari-hari bertugas sebagai Sekretaris Ditjen Otonomi Daerah ini.
Pada suatu kesempatan wawancara, wanita yang juga menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Setditjen Otda) ini menjelaskan, pengarusutamaan Gender dalam perencanaan pembangunan dibedakan atas perencanaan kebijakan program, proyek dan kegiatan dalam jangka panjang, menengah dan pendek yang dilakukan oleh seluruh instansi dan lembaga pemerintah di Provinsi, Kabupaten/Kota, disertai dengan anggaran yang responsif gender. “Pelaksanaannya di daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah,” tutur Sekretaris Detasering Penyelenggaraan Operasional Pemantapan Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi NAD.
Dia menjelaskan, pengertian Gender adalah konsep yang mengacu kepada peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki. Sedangkan PUG adalah salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) adalah suatu kondisi yang adil dan setara dalam hubungan kerjasama antara perempuan dan laki-laki.
Dalam Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah, ditegaskan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota adalah penanggung jawab umum pelaksanaan PUG di Provinsi, Kabupaten/Kota, serta dapat menetapkan unit kerja di lingkungannya sebagai koordinator dan penanggung jawab PUG. “Untuk mempercepat implementasi PUG, maka perlu dibentuk Pokja dan vocal point pada Instansi Pemerintah Daerah,” tutur Ir. Hj. Triyuni, yang juga merangkap sebagai Sekretaris Tim Penyelesaian RUU tentang Penyempurnaan UU No. 22 tahun 1999.
Selanjutnya hasil pelaksanaan PUG dari daerah dilaporkan kepada Mendagri secara berjenjang mulai dari Lurah/Kepala Desa, Camat, Bupati/Walikota dan Gubernur. Dalam aspek pembiayaan sekurang-kurangnya sebesar 5 % dari APBD Provinsi, Kabupaten dan Kota. Hal ini sebagai upaya dukungan pemberdayaan perem[puan di era otonomi daerah yang masih mendapat tantangan dan hambatan budaya yang kurang responsive. “Dengan demikian adanya Kepmendagri No. 132 tahun 2003 patut didukung oleh semua pihak dalam implementasi pengarusutamaan gender,” ujar Ir. Hj. Triyuni Soemartono, MM, Ketua Tim Asistensi Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau.
Pada tahun 1999 dalam TAP MPR Nomor IV/MPR/1999, kesetaraan dan keadilan gender telah dituangkan dalam GBHN 1999. Pada tahun 2004 dalam Rencana Kerja Pemerintah, program-program yang mengandung PUG terdiri dari berbagai program pembangunan di 9 (sembilan) sektor pembangunan yang memuat berbagai kegiatan untuk meningkatkan PUG.
Menurut Direktur Hukum dan HAM, BAPPENAS Diani Sadiawati, SH, LLM, regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan upaya untuk meningkatkan PUG di Indonesia adalah Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 yang menginstruksikan kepada seluruh kantor Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Panglima TNI, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung dan Gubernur serta Bupati/Walikota untuk melaksanakan dan mengintegrasikan PUG guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing.
Pelaksanaannya ditindaklanjuti dengan terbentuknya vokal poin yang sesuai dalam 9 (sembilan) sektor pembangunan yaitu : sektor pertanian, sosial budaya, hukum, pendidikan, ekonomi, ketenagakerjaan, kesehatan, keluarga berencana dan lingkungan hidup. “Terbitnya Kepmendagri No. 132 tahun 2003 patut disambut gembira dan didukung oleh semua pihak, karena secara nyata akan menjadi acuan daerah,” kata Diani.
Berdasarkan fakta hasil pembangunan pemberdayaan perempuan, menurut Asisten Ekonomi dan Sosial Sekda Provinsi Kalimantan Barat Drs. Kamarruzaman, M.Si, masih belum berjalan sebagaimana yang diharapkan sesuai amanat Inpres Nomor 9 Tahun 2000. “Tetapi tentunya dapat dimaklumi karena berbagai keterbatasan yang ada sehingga strategi pemberdayaan perempuan yang baru belum sepenuhnya dapat diterapkan dalam system pembagunan di daerah,” katanya.
Dia mengharapkan, untuk waktu mendatang kesinambungan dan konsistensi pelaksanaan pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah akan lebih mewarnai berbagai program dan kegiatan khususnya yang menyentuh kepentingan kaum perempuan diberbagai bidang kehidupan terutama bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan hokum serta hak azasi manusia. (LA)

Jabatan Fungsional Pranata Humas

Dalam rangka mengembangkan karier dan kualitas profesionalisme Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menjalankan tugas di bidang informasi dan kehumasan serta meningkatkan tugas dan fungsi humas dalam menyerap dan menyampaikan informasi mengenai kebijakan-kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di jajaran Departemen Dalam Negeri (Depdagri), maka dipandang perlu menetapkan Jabatan Fungsional Pranata Humas (JFPH).
Mutu, ketrampilan, keahlian dan pembinaan profesionalisme dalam memupuk kegairahan kerja PNS perlu ditingkatkan melalui pembinaan karier yang berdasarkan sistem karier dan prestasi kerja, sehingga demikian dapat dikembangkan bakat, minat dan kemampuan yang ada pada diri masing-masing PNS secara wajar.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) melalui Surat Keputusan (SK) Nomor 117/Kep/M.PAN/10/2003 tanggal 10 Oktober 2003 tentang Jabatan Fungsional Pranata Humas dan Angka Kreditnya, telah menetapkan Lembaga Informasi Nasional sebagai Instansi Pembina Jabatan Fungsional Pranata Humas.
Untuk menindaklanjuti keputusan tersebut, Lembaga Informasi Nasional (LIN) bersama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah menetapkan Keputusan Bersama Nomor 01/SKB/KA.LIN/2003 Nomor : 48 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pranata Humas dan Angka Kreditnya. Kemudian LIN sebagai Instansi Pembina JFPH menyusun 4 (empat) buah petunjuk teknis yang berkaitan dengan : (1) pelaksanaan penyesuaian/inpassing kedalam JFPH, (2) tata kerja dan tata cara penilaian angka kredit JFPH, (3) pelaksanaan pengangkatan, kenaikan jabatan/pangkat, pembebasan sementara, pengangkatan kembali dalam dan dari JFPH, serta (4) pedoman penyusunan formasi JFPH.
Penunjukan LIN sebagai Instansi Pembina Jabatan Fungsional Pranata Humas merupakan konsekuensi logis dari tugas pokok LIN sebagai instansi yang memberikan pelayanan informasi secara nasional. Hal ini merupakan kewajiban bagi LIN untuk melakukan pembinaan terhadap instansi yang mempunyai kegiatan pelayanan informasi dan kehumasan. Langkah awal upaya pembinaan tersebut dimulai dengan kegiatan sosialisasi untuk memberikan pengenalan dan pemahaman tentang Jabatan Fungsional Pranata Humas.
Sehubungan dengan hal tersebut, adanya tenaga yang menguasai dan memahami ketentuan-ketentuan dalam JFPH tersebut Balai Diklat LIN pada tanggal 29 Agustus – 4 September 2004 lalu mengadakan Diklat TOT Pranata Humas di Jakarta yang diikuti oleh beberapa Departemen, Kementrian dan Lembaga Non Departemen. Program Diklat ini merupakan program pemberdayaan Sumber Daya Manusia dalam mengantisipasi meningkatnya PNS yang ingin menjadi Pejabat Fungsional Pranata Humas.
Latar belakang pembentukan Jabatan Fungsional Pranata Humas adalah pertama, PNS dimanapun harus terbina kariernya; kedua, pasca (Departemen Penerangan (Deppen) bubar keberadaan juru penerangan (jupen) tidak jelas; ketiga, organisasi atau fungsi yang bergerak dibidang pelayanan informasi dan kehumasan tetap ada, sedangkan keempat, nantinya pemerintah kedepan membentuk pemerintahan yang miskin struktur tetapi kaya fungsi.
Dalam pelaksanaan tugas pemerintahan PNS dituntut mempunyai kemampuan profesional yang tinggi; keahlian dan pelaksanaan yang tinggi; kecakapan yang memadai; berdedikasi tinggi dan minat serta perhatian yang besar terhadap tugas pekerjaan dalam jabatan yang dipangkunya.
Beberapa Pengertian Dalam Jabatan Pranata Humas
Pranata Humas adalah PNS yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan informasi dan kehumasan. Pelayanan Informasi dan Kehumasan adalah kegiatan yang dilakukan Pranata Humas mulai dari perencanaan pelayanan informasi dan kehumasan, penyediaan dan penyebarluasan informasi, pelaksanaan hubungan kelembagaan, pelaksanaan hubungan personil dan pengembangan pelayanan informasi dan kehumasan. Pranata Humas juga melakukan hubungan kelembagaan untuk meningkatkan hubungan yang harmonis antara lembaga yang ada dalam masyarakat antara pimpinan lembaga dengan personil dan antar sesama personil.
Tingkatan Pranata Humas adalah (1) tingkat trampil, yaitu pranata humas yang mempunyai kualifikasi teknis atau penunjang profesional yang pelaksanaan tugas dan fungsinya mensyaratkan penguasaan pengetahuan teknis dibidang kehumasan (IIa – IIId) – SLTA/D-III, (2) tingkat ahli yaitu pranata humas yang mempunyai kualifikasi profesional yang pelaksanaan tugas dan fungsinya mensyaratkan penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dibidang kehumasan (III/a – IV/c) – S1 keatas.
Tugas Pokok Pranata Humas adalah melakukan kegiatan pelayanan informasi dan kehumasan yang meliputi ; pertama, perencanaan pelayanan informasi dan kehumasan; kedua, pelayanan informasi; ketiga, melaksanakan hubungan kelembagaan; keempat, melaksanakan hubungan personil dan kelima, mengembangkan pelayanan informasi dan kehumasan.
Pengembangan jabatan fungsional untuk mengimbangi secara lebih profesional dan rasional. Kemudian operasionalisasi tugas pokok dan fungsi aparatur dalam setiap bidang dan sektor terselenggaranya secara lebih produktif, berdaya guna dan berhasil guna. Disamping itu merupakan salah satu jalur penilaian karier dan profesionalisme Pegawai Negeri Sipil serta mendukung pelaksanaan otonomi dan perampingan organisasi pemerintah.
Unsur dan sub unsur kegiatan yang dapat dinilai antara lain : pendidikan; pelayanan informasi dan kehumasan; pengembangan profesi berupa pembuatan karya tulis; penterjemah/penyaduran buku dibidang informasi dan kehumasan dan pemberian konsultasi informasi dan kehumasan bersifat konsep; kemudian penunjang tugas Pranata Humas meliputi pengajar, peran serta dalam seminar, keanggotaan dalam organisasi profesi, keanggotaan dalam Tim Penilai Pranata Humas; serta perolehan piagam kehormatan serta perolehan gelar sarjana lainnya.
Formasi Jabatan Fungsional Pranata Humas masing-masing pada satuan organisasi unit pelayanan informasi dan kehumasan disusun berdasarkan analisis kebutuhan dan penyediaan PNS sesuai dengan jabatan yang tersedia dengan memperhatikan informasi jabatan yang ada.
Formasi Jabatan Fungsional Pranata Humas untuk masing-masing satuan organisasi Pemerintah Pusat setiap tahunnya ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab dibidang Pendayagunaan Aparatur Negara berdasarkan usul dari Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan setelah mendapat pertimbangan teknis Badan Kepegawaian Negara.
Formasi Jabatan Fungsional Pranata Humas Daerah untuk masing-masing satuan organisasi Pemerintah Daerah, yaitu untuk Propinsi ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan usul dari BAPPEDA Propinsi atau Kepala Instansi/ Dinas Teknis yang membawahkan unit pelayanan informasi dan kehumasan propinsi, setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala Kantor regional BKN yang bersangkutan. Untuk Kabupaten ditetapkan oleh Bupati berdasarkan usul dari Kepala BAPPEDA Kabupaten atau Kepala Instansi/Dinas Teknis yang membawahkan unit pelayanan informasi dan kehumasan kabupaten setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala Kantor Regional BKN yang bersangkutan. Demikian halnya untuk Kota .
Prosedur Pengusulan Formasi Jabatan Fungsional Pranata Humas
Untuk formasi Jabatan Fungsional Pranata Humas di Pusat, sebelum mengajukan ke MENPAN masing-masing Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat melakukan koordinasi dengan instansi pembina Jabatan Fungsional Pranata Humas LIN. Usulan formasi Jabatan Fungsional Pranata Humas disusun berdasarkan peta jabatan baik jabatan struktural maupun fungsional pada unit pelayanan informasi dan kehumasan yang bersangkutan. Berdasarkan hasil koordinasi dan konsultasi tersebut maka usulan formasi baru diajukan kepada MENPAN dan Kepala BKN sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Formasi Jabatan Fungsional Pranata Humas di Daerah; pimpinan unit pelayanan informasi dan kehumasan menyusun usulan rencana formasi JFPH dilingkungan masing-masing setelah dikoordinasikan dengan instansi pembina JFPH Lembaga Informasi Nasional. Usulan formasi JFPH disusun berdasarkan peta jabatan struktural maupun fungsional pada unit pelayanan informasi dan kehumasan yang bersangkutan. Rencana usul formasi jabatan tersebut disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian untuk mendapat penetapan.
Sebelum formasi JFPH ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah, maka rencana formasi JFPH sebagaimana dimaksud terlebih dahulu dimintakan pertimbangan teknis kepada Kepala Kantor Regional BKN masing-masing. Tembusan surat keputusan penetapan formasi JFPH disampaikan kepada Kepala BKN Regional yang bersangkutan dan Kepala Lembaga Informasi Nasional cq. Sekretaris Utama.
Ketentuan dan Persyaratan Pengangkatan
Pengangkatan PNS kedalam JFPH dapat dilakukan apabila unit pelayanan Informasi dan Kehumasan yang bersangkutan memiliki formasi JFPH yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggungjawab dibidang Pendayagunaan Aparatur Negara/Gubernur/Bupati/Walikota.
Bagi PNS yang sebelumnya tidak memangku jabatan struktural/fungsional lain, melalui mekanisme pengangkatan pertama kali dengan persyaratan : (1) ijazah serendah-rendahnya SLTA sesuai dengan klasifikasi yang dibutuhkan; (2) Pangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda Golongan/ruang II/a; (3) telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan fungsional dibidang pelayanan informasi dan kehumasan; (4) setiap unsur penilaian prestasi kerja dalam DP3 sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 1 (satu) tahun terakhir dan (5) memiliki angka kredit kumulatif minimal.
PNS Calon Pranata Humas yang telah memenuhi ketentuan dan persyaratan secara hierarkis dapat mengajukan usul kepada pimpinan unit kerja yang bersangkutan serendah-rendahnya pejabat eselon III. Demikian hasil TOT Pranata Humas yang tertuang dalam Buku Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pranata Humas yang diterbitkan oleh LIN. (LA)