15 August 2005

Pengarustamaan Gender

Perempuan Bukan Lagi Konco Wingking


Persepsi tentang eksistensi perempuan pada masyarakat Indonesia, masih menempatkan kaum hawa dalam posisi inferior. Fakta yang muncul dimasyarakat, pada kenyataannya masih ditemui keberadaan perempuan yang belum ditempatkan sebagai mitra setara. “Didalam keluarga masih dianggap sebagai konco wingking (pasangan hubungan seks-Red),” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Depdagri Drs. Oentarto Sindung Mawardi, M.Si., dalam suatu kesempatan di Jakarta, (2/9).
Fakta lainnya, misalnya dalam dunia politik, selama 8 (delapan) kali Pemilu dilaksanakan, pada lembaga legislatif sekitar 97% masih diisi oleh laki-laki. Bahkan, ada DPRD yang 100% laki-laki, apalagi di Badan Perwakilan Desa. Didalam kebijakan publik kepentingan perempuan nyaris tidak diperhatikan, kurangnya perlindungan hukum terhadap perempuan, dibidang pendidikan bacaan sekolah masih menomorduakan perempuan. “Dalam kehidupan social kemasyarakatan, sering hanya dikiaskan suwargo nunut neroko katut (masuk surga ikut, masuk neraka terbawa-Red),” papar Dirjen Otda.
Posisi dan kedudukan perempuan didalam masyarakat diharapkan akan semakin kuat dengan dikeluarkannya berbagai regulasi yang mengatur penempatan perempuan sejajar dengan kaum laki-laki. Di Indonesia regulasi mengenai gender ini diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Kemudian untuk mengimplementasikan UU tersebut, maka diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, dan dalam pelaksanakaan operasionalnya maka Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan Nomor 132 Tahun 2003 (Kepmendagri 132) tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Di Daerah.
Berdasarkan kondisi dilapangan, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah masih terdapat kesenjangan gender baik dalam perencanaan, pelaksanaan, penganggaran, pemantauan dan evaluasi, maupun dalam pengambilan keputusan dan kebijakan publik. Kepmendagri 132 ini merupakan penyempurnaan Surat Edaran Mendagri dan Otonomi Daerah Nomor 050/1232/SJ tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender.
Jika dilihat dari peranan perempuan yang tergambar dalam Gender Related Development Index (GDI), maka Indonesia berada dalam urutan ke 90, masih tertinggal dibandingkan dengan Singapura pada urutan ke-28, Malaysia pada urutan ke-52, Thailand pada urutan ke-61, lalu Filiphina pada urutan ke-66 dan bahkan Vietnam pada urutan ke-87. Dilihat dari tingkat pendidikannya, pada tahun 1999, 54 % perempuan hanya memiliki pendidikan SD, atau kurang 19 % berpendidikan SMP dan 27 % berpendidikan SMA atau lebih. Hal ini sekaligus juga menunjukkan bahwa di Indonesia ada tantangan pemberdayaan dan peran perempuan yang serius terhadap pembangunan.
“Kondisi ini searah dengan tuntutan globalisasi dan demokratisasi, dimana perlu disusun strategi kebijakan penanganan yang optimal dan holistic, dengan melibatkan Departemen dan Non Departemen, serta elemen-elemen masyarakat terkait dalam pemberdayaan perempuan di era otonomi daerah,” kata Ketua Penyelenggara Workshop ini, Ir. Hj. Triyuni Soemartono, MM (2/9).
Implementasi Kepmendagri 132 Tahun 2003
Departemen Dalam Negeri (Depdagri) sebagai Pembina umum pemerintahan dalam negeri merasa perlu memfasilitasi daerah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan melalui suatu kebijakan dengan mengintegrasikan PUG ke dalam seluruh proses dan tahapan pembangunan dengan meningkatkan integritas pejabat pemerintah daerah khususnya yang menangani pemberdayaan perempuan terhadap PUG dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan
Mengingat pentingnya implementasi Kepmendagri 132 ini, Depdagri menyelenggarakan Workshop Pengarusutamaan Gender Dalam Rangka Implementasi Otonomi Daerah. Selain itu, acara dimaksud diharapkan dapat menyatukan pemahaman, pemikiran dan persepsi pejabat pemerintah daerah, khususnya yang menangani pemberdayaan perempuan terhadap PUG.
“Kemudian untuk mengoptimalkan pengarusutamaan gender dalam setiap kebijakan dan merespon peluang maupun tantangan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan otonomi daerah di bidang ketentraman dan ketertiban umum, penegakan hukum, kependudukan dan permasalahan sosial lainnya,” papar Ir. Hj. Triyuni Soemartonno, MM, yang sehari-hari bertugas sebagai Sekretaris Ditjen Otonomi Daerah ini.
Pada suatu kesempatan wawancara, wanita yang juga menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Setditjen Otda) ini menjelaskan, pengarusutamaan Gender dalam perencanaan pembangunan dibedakan atas perencanaan kebijakan program, proyek dan kegiatan dalam jangka panjang, menengah dan pendek yang dilakukan oleh seluruh instansi dan lembaga pemerintah di Provinsi, Kabupaten/Kota, disertai dengan anggaran yang responsif gender. “Pelaksanaannya di daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah,” tutur Sekretaris Detasering Penyelenggaraan Operasional Pemantapan Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi NAD.
Dia menjelaskan, pengertian Gender adalah konsep yang mengacu kepada peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki. Sedangkan PUG adalah salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) adalah suatu kondisi yang adil dan setara dalam hubungan kerjasama antara perempuan dan laki-laki.
Dalam Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah, ditegaskan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota adalah penanggung jawab umum pelaksanaan PUG di Provinsi, Kabupaten/Kota, serta dapat menetapkan unit kerja di lingkungannya sebagai koordinator dan penanggung jawab PUG. “Untuk mempercepat implementasi PUG, maka perlu dibentuk Pokja dan vocal point pada Instansi Pemerintah Daerah,” tutur Ir. Hj. Triyuni, yang juga merangkap sebagai Sekretaris Tim Penyelesaian RUU tentang Penyempurnaan UU No. 22 tahun 1999.
Selanjutnya hasil pelaksanaan PUG dari daerah dilaporkan kepada Mendagri secara berjenjang mulai dari Lurah/Kepala Desa, Camat, Bupati/Walikota dan Gubernur. Dalam aspek pembiayaan sekurang-kurangnya sebesar 5 % dari APBD Provinsi, Kabupaten dan Kota. Hal ini sebagai upaya dukungan pemberdayaan perem[puan di era otonomi daerah yang masih mendapat tantangan dan hambatan budaya yang kurang responsive. “Dengan demikian adanya Kepmendagri No. 132 tahun 2003 patut didukung oleh semua pihak dalam implementasi pengarusutamaan gender,” ujar Ir. Hj. Triyuni Soemartono, MM, Ketua Tim Asistensi Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau.
Pada tahun 1999 dalam TAP MPR Nomor IV/MPR/1999, kesetaraan dan keadilan gender telah dituangkan dalam GBHN 1999. Pada tahun 2004 dalam Rencana Kerja Pemerintah, program-program yang mengandung PUG terdiri dari berbagai program pembangunan di 9 (sembilan) sektor pembangunan yang memuat berbagai kegiatan untuk meningkatkan PUG.
Menurut Direktur Hukum dan HAM, BAPPENAS Diani Sadiawati, SH, LLM, regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan upaya untuk meningkatkan PUG di Indonesia adalah Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 yang menginstruksikan kepada seluruh kantor Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Panglima TNI, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung dan Gubernur serta Bupati/Walikota untuk melaksanakan dan mengintegrasikan PUG guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing.
Pelaksanaannya ditindaklanjuti dengan terbentuknya vokal poin yang sesuai dalam 9 (sembilan) sektor pembangunan yaitu : sektor pertanian, sosial budaya, hukum, pendidikan, ekonomi, ketenagakerjaan, kesehatan, keluarga berencana dan lingkungan hidup. “Terbitnya Kepmendagri No. 132 tahun 2003 patut disambut gembira dan didukung oleh semua pihak, karena secara nyata akan menjadi acuan daerah,” kata Diani.
Berdasarkan fakta hasil pembangunan pemberdayaan perempuan, menurut Asisten Ekonomi dan Sosial Sekda Provinsi Kalimantan Barat Drs. Kamarruzaman, M.Si, masih belum berjalan sebagaimana yang diharapkan sesuai amanat Inpres Nomor 9 Tahun 2000. “Tetapi tentunya dapat dimaklumi karena berbagai keterbatasan yang ada sehingga strategi pemberdayaan perempuan yang baru belum sepenuhnya dapat diterapkan dalam system pembagunan di daerah,” katanya.
Dia mengharapkan, untuk waktu mendatang kesinambungan dan konsistensi pelaksanaan pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah akan lebih mewarnai berbagai program dan kegiatan khususnya yang menyentuh kepentingan kaum perempuan diberbagai bidang kehidupan terutama bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan hokum serta hak azasi manusia. (LA)